Masih ingat banjir tanggal 2 Februari 2007? Pasti masih dong, kan Jakarta tenggelam, udah kaya kena tsunami deh. Kita sekeluarga juga kena dampaknya.
Gimana enggak, sekitar 50 meter dari depan rumah kontrakan kita mengalir sungai ciliwung. Wuiiiiih sungainya kotor banget, dan yang bikin shock ketika mama tau, Mba Atun buang sampah disana, termasuk sampah kita.
Dengan enteng, dia melempar bungkusan berisi sampah ke tengah sungai, terus terang mama malu, secara kita berdua berprofesi sebagai wartawan yang pernah liputan banjir dan tau salah satu penyebabnya adalah buang sampah seenaknya di sungai, eh sekarang kita ikutan jadi penyumbang penyebab banjir.
Mau ga mau tutup mata aja deh, soalnya di tempat kita tinggal memang enggak ada tukang sampah keliling, semuanya lempar ke sungai, beres? Enggak dong.
Bisa di tebak, kalau hujan turun tanpa henti pasti banjir. Pas tanggal 2 februari 2007 siang, ketika hujan turun terus menerus dari tadi malam, (kamis malam tanggal 1 Februari 2007, papa Dy pulang dengan celana jeans tergulung sedengkul dalam keadaan basah, karena di depan komplek sudah mulai banjir), air mulai naik sedikit demi sedikit.
Ngeri ngeliatnya, pelan tapi pasti air mulai mendekati dan masuk ke rumah Mba Atun yang kondisinya lebih rendah dari rumah kita.
Ibu Kemi pemilik kontrakan mencoba menenangkan kita, dia bilang banjir besar tahun 2002 lalu rumahnya enggak kena banjir.
Tapi kok air mulai sejajar sama teras rumah ya?. Kita sih sudah beres-beres dari siang, makanya begitu air mulai masuk ke dalam rumah, kita langsung ngungsi ke lotengnya bu Kemi, plus kasur juga kita angkut.
Malam pertama kita sekamar sama yang punya rumah, tapi musti ekstra hati-hati karena ada keponakannya yang suka gigit anak kecil.
Huh awas aja kalo dia gigit Nayla, mama sempat marahin dia (ga tau kalau mamanya ada di situ, tapi bodo amat, mamanya juga tulalit).
Seru juga jadi pengungsi banjir, jadi ngerasain berbagi air, berbagi makanan bungkusan (ada yang pakai cap partai), sampai berbagi pulsa.
Nayla anak mama yang belum berumur empat bulan, ga pernah rewel, dia jadi pengungsi paling kecil dan paling cantik.
Akhirnya pada hari ketiga kita melihat daratan juga, beneran waktu itu kita kaya ada di tengah sungai, karena sekeliling kita yang keliatan cuma air warna coklat.
Mba atun bantuin kita bersihin rumah, sedih juga ngeliat koleksi dvd bajakan kita hanyut, kayanya musti cari lagi dvd bajakan-bajakan he....he......
Karena banjir sudah surut dan jalanan sudah mulai kering, papa masuk kantor, sedangkan kita nginep di rumah tante ucu di utan kayu, karena kebetulan air ikut-ikutan mati menyusul listrik yang sudah 3 hari ogah hidup.
Untung kita nginep di Utan Kayu, karena itu ternyata awal dari hubungan yang membaik dengan oma prumpung (ini ada ceritanya sendiri ya Nay, yang pasti mama sama papa bisa melaluinya dengan selamat, apalagi kita ga salah).
Fio keponakannya papa ternyata di rawat di rumah sakit, jadi tante Ucu, mama dan Nayla nengokin dia (papa ga mau karena males ketemu tante Ina).
Sejak itu oma prumpung rajin ngirim masakan ke rumah kita, mungkin dia merasa mama sudah tidak marah lagi sama dia, karena selama kita tinggal di prumpung, mama yang mereka sakiti.
Ternyata kesengsaraan enggak selamanya bawa kesedihan, buktinya karena banjir, sebagian masalah membaik.
Komentar
Posting Komentar