Kosongin yuuuk Ransel Emosinya agar Bahagia

Hi Mom...
Mau mereview buku nih ceritanya, Anger Management (The Life Skill) yang ditulis oleh pasutri, Dandi birdy dan Diah Mahmudah. 

Mereka berpengalaman menangani masalah parenting, pernikahan dan pengembangan sumber daya manusia di perusahaan.

Buku ini ditawarkan di grup untuk di review. Melihat judulnya  saya langsung mengajukan diri untuk menjadi salah satu blogger yang kebagian buku ini.
Sebelumnya saya mau curcol alasan kenapa saya butuh sangat dengan buku ini. Ada beberapa bagian yang saya sensor karena  akan menghabiskan ribuan halaman blog (halah lebay ini sih) lagian aib jangan terlalu diumbar umbarkan.

Saya takut dengan pernikahan
Dari saya masih sekolah menengah pertama, saya bertekad untuk gak bakal nikah. Karena saya melihat tante dari mami saya bercerai, dengan cara yang heboh dan penuh huru hara drama banget deh pokoknya.

Drama kayak gini juga ada di rumah saya (mohon maaf dengan Almarhum bapak tersayang), piring tiba tiba mendadak bisa terbang dari meja makan saat orang tua kami bertengkar. 

Dan kalau kita nakal (ketika masih kecil dulu) mau cowok atau cewek pasti kena sabet tali pinggang kulit punya bapak hiiiiks. Sedih dan perih kalau ingat ini semua, walaupun setelah dewasa (SMA) hingga akhir hayatnya bapak adalah sahabat terbaik saya di dunia.

Singkatnya hal hal seperti ini yang bikin saya gak pingin nikah. Saya takut dengan semua yang pernah saya alami di rumah dulu, saya takut  akan kasar juga dengan anak nanti.

Akhirnya berani nikah juga
Yup ... setelah melalui macam macam gelombang kehidupan, saya bertemu dengan pasangan yang namanya sama dengan bapak, tapi kesukaannya bertolak belakang dia gak suka merokok dan minum kopi.

Suami saya ini yang membalikkan dunia saya bahwa pernikahan bukanlah mimpi buruk. Dia pintar dan sabaaaaaaar banget, dia sahabat terbaik setelah bapak.

Sampai akhirnya ketika kami punya anak, mimpi buruk ini datang lagi. Mimpi buruk yang saya lihat di kehidupan rumah tangga kakak dan adik saya (yang menikah lebih dulu).

Kakak perempuan saya bisa dengan tiba tiba teriak memarahi anaknya di depan orang banyak atau adik saya yang ringaaaaaaaan tangan banget sama anak dan istrinya (aaaaah maaaf saya terus terang sedikit dengan hidup saya).

Ternyata nih saya juga begitu, saya bisa marah dengan hebat melihat anak mengotori rumah bedanya saya jaim depan orang. Eh ini gak sekonyong konyong marah ya tapi setelah beberapa kali Nayla gak mau menuruti apa mau saya.

Puncaknya (puncak ini berkali kali muncul di kehidupan saya) saya bertengkar hebat dengan Nayla. Biasanya kalau sudah seperti ini  suami saya yang jadi penengah, kami harus berbaikan sayang sayangan lagi hari itu juga.

Ransel Emosi (hal 26)
Sepertinya hidup saya gak santai ya emosian, tapi sebetulnya gak juga. Suami saya yang mengajarkan untuk meminta maaf kalau salah, jangan gengsi walaupun itu ke Nayla apalagi kalau ke suami ya.
Hanya saya merasa ada yang salah dengan perilaku saya yang kadang berlebihan kalau marah untuk hal hal yang sepele. Bahkan pernah saya meminta suami saya untuk mencari psikiater untuk saya.

Sampai segitunya ya, cuma belum terlaksana sampai sekarang. Terlupakan karena keadaan membaik dan penuh kasih sayang lagi.

Ternyata hal seperti ini gak baik, menunda nunda untuk menyelesaikan masalah. Dari buku Anger Management, hal kayak gini ibaratnya  lagi membawa bom waktu, setiap saat bisa meledak.

Saya sedang membawa ransel emosi yang full, jadi beratnya ampun ampunan di pundak saya. Dari buku ini saya tahu ransel emosi yang pastinya tidak kasat mata antara lain berasal dari rasa duka yang belum tuntas yang berasal dari masa lalu.

Katanya sih pengasuhan dan pendidikannya fokus pada pengasahan kognisi, bukan pengasahan emosional juga spiritual.

Mungkin ini ada benarnya, walaupun mereka memanggil guru ngaji ke rumah. Tapi karena kedua orang tua bekerja dan hanya ada pembantu rumah tangga yang menjaga kami jadinya ya gitu deh.

Kosongkan Ransel Emosi (hal 121)
Terus gimana dong kalau begini terus, apa yang harus saya lakukan dengan ransel emosi ini. Padahal saya bahagia lo sekarang walaupun gak berkelimpahan harta seperti Syahrini, karena Syahrini belum memiliki harta yang tidak bisa dimiliki kecuali seizin Allah, yaitu seorang Anak ... eeeaaaaa...
Pinginnya sayang sayangan saja sama anak dan suami, gak pingin gampang emosi. Saran dari buku ini selain dimulai dengan Lillahi Taala, diri kita sebaiknya menyadari dan mengakui kalau terluka dan sedang tidak baik baik saja.

Kepingin juga mencoba Self Healing Therapy. Karena ada efek penyembuhan, sayang belum terwujud karena saya baru bisa tidur di atas jam 11 malam, Insya Allah kalau sudah memperbaiki pola tidur mau coba terapi ini.

Sementara saya mencoba saran dari suami seperti yang selalu suami bilang ke saya (hampir tiap hari), kalau lagi marah sama Nayla ingat  aja lucu lucunya Nay. 

Apalagi mengingat hanya dua bulan menikah, saya langsung hamil anak perempuan pula seperti yang saya mau. Padahal banyak yang belum punya anak setelah bertahun tahun menikah. Saya diingatkan terus untuk bersyukur untuk yang satu ini. 

Pluuuuus diingatkan karena saya punya darah tinggi yang ketahuan sejak saya bekerja (sebelum menikah), untuk jaga emosi biar gak kena stroke. Yup suami saya bilang begitu, tentunya dengan rasa sayang, "kan kita berdua mau melihat Nayla kuliah kerja dan menikah".

Semoga ya dengan baca buku ini dan menerapkan anjurannya bisa meringankan ransel emosi yang ada bahkan mungkin hilang sama sekali ya, Aamiin.
Ada sedikit pesan untuk para penulis tersayang Mas Dani dan Mba Diah, sampul bukunya pinginnya jangan warna hitam (gambar apinya jadi terlihat jelas sih) bikin saya maju mundur bacanya hi...hi.... ini sih masalah pribadi saja gak nyaman dengan warna ini. 

Kalau hitam untuk warna baju saya suka, aaaah gak sabar ingin baca lanjutan buku iniπŸ’™πŸ’šπŸ’›πŸ’œπŸ’—

Komentar