Hayu Dyah Patria, Meningkatkan Gizi Masyarakat dengan Tanaman Liar

Hi Mom...

Ketika pertama kali jadi seorang ibu, saya pernah merasa cemas anak saya Nayla kekurangan gizi saat dia menolak salah satu makanan yang saya masak. Bagaimana gak cemas, bahan-bahan yang dipilih (saya anggap) sudah paling bagus dan bergizi deh.

Tapi untungnya banyak tips dan trik untuk mengatasi masalah ini di sosial media dan youtube. Ternyata masalah makanan bergizi gak melulu harus dengan bahan-bahan yang mahal. 

"Hayu Dyah Patria. Foto: koleksi pribadi.jpeg"
Seperti yang dilakukan seorang perempuan  dari Sidoardjo, Jawa Timur bernama Hayu Dyah Patria. Cara yang dipakai cukup unik, kenapa unik? karena dia memperkenalkan pemanfaatan tanaman liar menjadi sebuah makanan yang lezat kepada warga Galengdewo sebuah desa di Jawa Timur. 

Bukan tanpa alasan memilih tanaman liar ini, karena bisa dikembangkan dengan mudah dan tidak perlu perawatan khusus. Ini sih cara yang biasa saya pilih, tidak mau ribet tapi hasilnya pingin yang wow😁.

Hayu mulai tertarik dengan pangan lokal sejak dia kuliah di Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Tanaman liar menurut Perempuan kelahiran Gresik 27 Januari 1981 ini adalah tanaman yang mudah dijangkau oleh masyarakat, karena bebas tumbuh dimana saja. 

Seperti daun kastuba misalnya, berlimpah kandungan mineral. Selain Kastuba ada juga daun yang disukai jengkerik namanya krokot, kaya dengan berbagai macam vitamin dan yang terpenting ada senyawa pendongkrak kecerdasan, ini nih bagian yang paling penting kan.

Manfaat tanaman krokot yang memiliki batang berwarna merah dan daun kecil berwarna hijau ini berasal dari kandungan dua jenis asam lemak omega-3, ALA atau alpha linolenic acid asam lemak esensial yang penting dalam mringkatkan kinerja otak dan EPA yang biasanya ada di Hewan dan alga alias rumput laut. 

Krokot memiliki potensi dan prospek yang baik namun belum adanya upaya untuk dijadikan tanaman budidaya sehingga populasinya masih rendah dan tumbuh tersebar secara liar. 

Tapi jangan salah pilih ya mom, Krokot ada banyak jenisnya. Ada yang jadi tanaman hias,  ada yang tumbuh liar di jalan-jalan. Krokot untuk tanaman hias tidak bisa dikonsumsi, tapi bagus sekali untuk menarik pollinator seperti lebah. Sementara krokot liar bisa dikonsumsi. 

Menurut Hayu Dyah dia memperkenalkan pemanfaatan tanaman liar ini kepada warga selain untuk melestarikan tanaman liar, memperkuat ketahanan pangan, juga untuk memerangi kekurangan gizi dengan cara yang masuk akal.  

Memang ada sebagian masyarakat yang telah memanfaatkannya untuk dikonsumsi tapi lebih banyak untuk pakan ternak yaitu pakan tambahan bagi burung. Katanya bisa bikin suara kicauan burung kenari lebih jernih, nah sayang sekali kan kalau hanya untuk pakan ternak.

Kalau dilihat dari sumber databoks.katadata.co.id, FAO (Food and Agriculture Organization) atau organisasi pangan dan pertanian di bawah naungan PBB, pada tahun 2021 penderita kurang gizi di seluruh dunia mencapai sekitar 767 juta orang. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 425 juta orang diantaranya berada di Asia. 

Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk kurang gizi tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data FAO, ada 17,7 juta orang Indonesia kekurangan gizi. FAO juga mencatat jumlah penderita kurang gizi di skala global terus meningkat dalam lima tahun terakhir.

Kebayang gak bagaimana jumlah penduduk yang mengalami kurang gizi 10 - 12 tahun yang lalu, saat dia pertama kali mulai menggiatkan pemanfaatan tanaman liar? pasti keadaannya lebih memprihatinkan. 

Hal ini yang membuat Hayu Dyah waktu itu lebih bersemangat lagi mencari cara meningkatkan gizi masyarakat dengan tanaman liar yang diolah menjadi makanan sehat.

Lahirlah Mantasa...

Tidak bisa dipungkiri di Indonesia, penyebab utama kekurangan gizi adalah kemiskinan.  makanya masuk akal kan kalau tanaman liar dijadikan makanan. Tanaman liar bisa didapat tanpa harus mengeluarkan uang. Cukup dipetik dan kandungan gizinya tidak kalah dari tanaman budidaya.

Bahkan cara menanamnya juga mudah dan cepat bisa dipanen. Makanya Hayu juga mengajak untuk menanam tanaman liar yang bisa dimakan dan punya nilai gizi tinggi seperti sintrong, pegagan, bayam banci, suwek hingga tanaman bernama gadung.

Tahun 2009 Hayu kemudian mendirikan Yayasan Mantasa. Sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang penelitian tanaman liar untuk bahan pangan masyarakat lokal. 

Dari percakapan saya melalui Whatsapp dengan  Hayu Dyah Patria, anak bungsu dari dua bersaudara ini,  nama Mantasa berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya menjembatani. 

Harapannya Mantasa dapat menjembatani antara pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan. Juga menjembatani peran-peran perempuan sehingga pengetahuan dan keterampilan mereka dalam sistem pangan makin diakui. 

Sejak itu Hayu mulai memberdayakan ibu-ibudi pedesaan untuk memanfaatkan tanaman liar sebagai bahan makanan seperti seperti krokot, daun racun, tempuyung, legetan, dan sintrong. Silahkan klik ini Aneka Makanan Lezat di Mantasa 

Saya meneguk air liur saat melihat salah satu postingan di Mantasa, carucub (permen daun) dari masyarakat adat Kasepuhan, Sobang-Jawa barat. carucub terbuat dari daun singkong tua yang direndam dengan gula aren yang sedang dimasak dan didiamkan selama satu jam.

"Carucub (permen daun). Foto: Koleksi Mantasa.jpeg"
Daun singkong mengalami pematangan dari gula aren yang masih panas. Kita menyangka daun singkong yang sudah tua ini akan berserat dan tidak enak di makan. Tapi begitu masuk ke mulut, daun singkong manis ini langsung meleleh di lidah.

Kebayang gak kalau mereka mengolah carucub memakai daun labu, rebung dan jamur kuping misalnya. Atau memakai aneka tumbuhan tanaman pangan liar yang ada di sekitar kampung, pasti akan ada rasa dan tekstur yang unik.

Belum lagi kalau tanaman pangan ini di bikin pecel, makanan kesukaan saya yang gak pernah gagal bikin nafsu makan biarpun lagi gak pingin makan. Cukup direbus sebentar terus disiram kuah kacang yang pedas, yaaaam...

"Pecel tanaman liar. Foto: FB Hayu Dyah Patria.jpeg"
Hayu Dyah pastinya bahagia melihat jerih payahnya sudah terlihat dampaknya bagi masyarakat desa, masyarakat mulai mengkonsumsi lebih banyak tanaman pangan liar dibanding makanan olahan dan bahkan terbiasa memelihara tanaman liar. 

"Foto: Koleksi Mantasa 1.jpeg"
Yang lebih menggembirakan Desa Galengdowo  ini sudah memberikan presentasi di luar negeri mengenai apa yang telah mereka lakukan untuk mengatasi gizi buruk. Bahkan berkembang menjadi pengolahan pangan yang bisa dipasarkan untuk masyarakat umum.

Makanya gak heran perusahaan sebesar ASTRA melirik kerja kerasnya di bidang pemuliaan tanaman liar untuk menunjang gizi masyarakat dan kerja dokumentasinya pada alternatif pangan lokal. Gak tanggung-tanggung Hayu waktu itu diganjar penghargaan SATU Indonesia Awards tahun 2011 di bidang Pemberdaya Gizi dari Tanaman untuk kategori Teknologi.

400 lebih spesies tanaman liar yang bisa dikonsumsi

Seiring berjalannya waktu Hayu sudah berhasil mengidentifikasikan sekitar 400 lebih spesies tanaman liar. Ia juga berhasil mengundang kalangan akademis dan peneliti untuk menemukan kandungan nutrisi tanaman pangan liar dan berhasil meneliti 10 tanaman pangan liar secara mendalam. 

Semua ini bisa terwujud karena peran anak-anak muda juga untuk menemukan tumbuhan pangan liar. Tentunya saat mencari tanaman liar ini, mereka dipandu sesepuh adat yang mengetahui tanaman liar apa saja yang ada di kebun dan di hutan yang bisa mereka makan.

Kenapa Kelompok Perempuan Adat?

Menurut perempuan yang masih betah tinggal di Sidoardjo, Jawa Timur ini target utama agar misinya bisa terlaksana adalah kelompok perempuan Adat. Karena mereka memiliki peran yang amat penting loh dalam menjaga keberlangsungan hidup orang-orang di komunitasnya.

"Foto: Koleksi Mantasa 2.jpeg"
Sayangnya peran dan pengetahuan mereka masih diabaikan dan tidak terlihat. Sejauh ini sudah ada tujuh kelompok perempuan adat yang berhasil dirangkul, seperti perempuan adat Tengger di Bromo, Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, Kasepuhan Cibeas di Banten, Kampung Adat Saga di Ende, desa Tasi dan Talwai di Alor, Merauke.

"Foto: Koleksi Mantasa 3.jpeg"

Keberhasilan itu bukannya tanpa halangan, karena tanggapan mereka pada awalnya heran banget loh sama ajakannya. Apa iya tanaman yang kebanyakan cuma jadi panganan ternak atau bahkan diabaikan begitu saja, bisa memeperbaiki gizi mereka? bahkan bisa jadi pemasukan tambahan?. 

Karena bagi mereka mencari bambu untuk dibikin jadi keranjang, memanen, menyeleksi benih, mengolah umbi-umbian yang beracun menjadi makanan yang bisa dikonsumsi, hingga memanen sayur dan jamur liar di hutan itu dianggap sebagai kewajiban sehari-hari saja.

Padahal di balik kegiatan-kegiatan itu ada begitu banyak pengetahuan yang penting dan  harus dicatat agar tidak hilang begitu saja. Semakin lama bergaul dengan para perempuan hebat ini, Hayu makin paham kalau kendalanya lebih ke mindset mereka. 

Selama ini mereka anggap kerja dan peran perempuan itu tidak penting. Bahkan pengetahuan perempuan itu dianggap tidak bermakna. Itu yang harus dibongkar dan diubah sehingga mereka menghargai kerja, pengetahuan dan keterampilan mereka sendiri.

Cerita yang paling baru dari Hayu yang suka banget me time dengan berdiam diri di rumah kepada saya, saat ini dia sedang mendampingi dua komunitas Masyarakat Adat di Ende dan Alor. 

Menurut perempuan yang suka makan apa saja ini, dia dan teman-temannya fokus pada isu besar tentang sistem pangan Masyarakat Adat (MA) bersama FAO.

"Foto: Koleksi Mantasa 4.jpeg"
Mengapa yang dipilih sistem pangan MA?, karena dari studi FAO  di beberapa komunitas MA di seluruh dunia MA bergantung pada tumbuhan pangan liar untuk keberlangsungan hidupnya, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi mereka. 

Terutama di Indonesia yang notabene negara tropis, MA sangat bergantung pada alam dan aneka jenis tumbuhan dan hewan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Untungnya negara kita berlimpah  dengan tumbuhan-tumbuhan pangan dan tumbuhan liar.

Rasanya kalau melihat beragam makanan yang enak dan tentunya bergizi bisa dibuat dari tanaman liar, masyarakat yang kurang mampu sepertinya tidak akan kekurangan gizi. 

"Foto: Koleksi Mantasa 5.jpeg"

Masa sih kita yang berkelimpahan tanaman pangan dan tanaman liar yang layak untuk di makan, masih akan masuk terus dalam daftar negara yang masyarakatnya kekurangan gizi. 

Apalagi resep tradisonal warisan leluhur yang Hayu kumpulkan dari kunjungan ke desa-desa juga tetap terjaga karena di dokumentasikan dengan lengkap. 

Selain itu Hayu ingin pengetahuan para ibu dari masyarakat adat ini patut dihargai karena mereka mempunyai berjuta-juta ide untuk mengolah masakan dan makanan yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain.

Semoga banyak anak muda seperti Hayu Dyah Patria yang punya  semangat hingga hari ini untuk terus mengedukasi masyarakat adat khususnya demi masa depan Indonesia.

"Hayu Dyah Patria.jpeg"

Komentar